Rabu, Juli 09, 2008

Kita perlu extra hati-hati dalam menyikapi suatu info - Was: Re: Gunung Es Korupsi di Parlemen

Quote:
".
Namun, akhir akhir ini, timbul pemakaian kata "jamaah" dalam konteks
yang agak seram, "Jemaah Islamyah" misalnya dalam konteks tersangka
teroris ditangkapi oleh Densus 88.
.."

Bang Farid maaf saya pinjam postingan anda untuk mereply postingan dari
Eyang Danarndono.. Intinya, untuk persoalan terorisme, kata jamaah, kita
juga musti extra hati".. jangan sampai hanya termakan penyebaran info
dari satu pihak saja.. yang belum tentu cover both/all side.. :-)

CMIIW..

Wassalam,

Irwan.K

---------- Pesan terusan ----------
Dari: Farid Gaban <faridgaban@yahoo.com>
Tanggal: 9 Juli 2008 10:56
Subjek: Jemaah Islamiyah, FPI dan Fakhrudin Halim

Teman-teman,

Di tengah perdebatan Milis Jurnalisme soal kebrutalan FPI di Monas
beberapa waktu lalu, Sdr. Fakhrudin Halim mengirim posting lama saya dalam kaitan berita-berita terorisme Jemaah Islamiyah.

Saya tidak tahu persis apa maksudnya, tapi sejauh bisa saya tafsirkan, posting Fakhruddin itu mengandung pertanyaan seperti ini:

Mengapa saya, yang begitu gigih mempertanyakan kinerja polisi dalam kasus Jemaah Islamiyah, bisa menerima begitu saja fakta kekerasan yang dilakukan FPI di Monas?

Mengapa saya bersikap berbeda dalam kasus Jemaah Islamiyah dan dalam kasus FPI"

Hari-hari ini isu teror Jemaah Islamiyah kembali marak di media kita menyusul "temuan" bom di Palembang oleh Densus 88 beberapa waktu lalu.

Sehingga ada baiknya kita lihat kembali perbandingan antara dua kasus ini serta bagaimana saya sebagai wartawan dan seorang Muslim memandang masalah tersebut.

Pertama-tama, saya pribadi tidak setuju pandangan keislaman dan watak gerakan FPI maupun Jemaah Islamiyah (jika ada). Bagi saya, mereka bukan pejuang Islam.

Luthfi Assyaukanie dari Jaringan Islam Liberal keliru besar ketika dia menulis "Islam benar dan Islam Salah" seraya mengkritik orang seperti saya yang disebutnya sebagai "pembela teroris". Khususnya dalam kasus penangkapan Abu Dujana beberapa waktu lalu.

Ironis bahwa orang yang mengaku liberal seperti Luthfi memakai dalil agama untuk mengajak kita percaya hanya pada versi polisi tentang sebuah kejahatan, yang secara tak langsung memberikan cek kosong pada polisi untuk berbuat semau-maunya.

Saya tidak membela dan tidak memberi pembenaran kepada kekerasan yang dilakukan Jemaah Islamiyah (jika ada). Saya hanya mempertanyakan kinerja polisi, dan mengkritik media yang cenderung hanya mengutip sumber polisi.

[Saya bisa memahami bentuk dan alasan pemakaian kekerasan oleh Hamas di Palestina atau Hizbullah di Lebanon; tapi tidak Jemaah Islamiyah di Indonesia ketika iklim politik pasca-reformasi justru memberi peluang orang Islam untuk menyuarakan aspirasinya secara terbuka. Apalagi kekerasan ala FPI belakangan ini.]

Kata "jika ada Jemaah Islamiyah" perlu ditekankan karena berbeda dengan FPI yang terang-terangan mengakui watak kekerasannya, struktur organisasi dan pengurus Jemaah Islamiyah tidak pernah jelas terungkap sejauh ini. Sebagian besar informasi yang kita terima tentang organisasi ini berasal dari polisi, bukan dari tokoh-tokohnya sendiri.

Saya tetap punya pandangan yang sama dalam kasus "temuan bom" di Palembang yang diklaim polisi sebagai milik jaringan Jemaah Islamiyah.
Banyak media, menurut saya, tetap belum berubah dari pola lama yang cenderung membebek pada apa kata polisi.

Kekerasan Jemaah Islamiyah (jika ada) memang layak dikutuk. "Terorisme Jemaah Islamiyah" telah merugikan negeri kita dan kaum Muslim secara berlapis-lapis: korban nyawa, korban luka, penangkapan serampangan terhadap tersangka teroris, beban kesulitan ekonomi negara, serta citra Indonesia dan Islam yang terpuruk habis.

Tapi, sejauh bisa saya telusuri dalam kasus Jemaah Islamiyah, ada banyak indikasi yang membuat kita layak meragukan (reasonable doubt) klaim polisi. Kita bahkan layak untuk mencurigai skenario "war on terror" yang dimulai di Amerika.

Sebagian dari kita mungkin ada yang melihat film dokumenter bikinan BBC pada 2005: "The Power of Nightmares: The Rise of the Politics of Fear". Dalam film berdurasi tiga jam itu, Adam Curtis menyajikan sejumlah bukti bahwa apa yang kita terima sebagai fenomena terorisme internasional adalah "fantasi yang dilebih-lebihkan dan diselewengkan oleh para politisi" untuk membenarkan tindakan politik mereka.

"It is a dark illusion that has spread unquestioned through
governments around the world, the security services and the
international media."

Isu "war on terror" memiliki dampak sangat merugikan bagi Islam dan kaum Muslim. Isu itu membuat citra Islam nyaris identik dengan kekerasan. Itu sebabnya, media/wartawan semestinya berhati-hati ketika meliput kasus ini. Kaum Muslim, di sisi lain, dituntut untuk terus-menerus menunjukkan, baik melalui kata maupun perbuatan, bahwa Islam adalah agama yang santun dan damai.

Kekerasan FPI di Ancol memiliki aspek yang sama sekali berbeda. Dari Rizieq Shihab hingga Munarman gegap-gempita dan terang-terangan memberikan pembenaran terhadap kekerasan yang dilakukannya. Kekerasan atas nama Islam.

Sebagai wartawan, saya tidak memiliki keraguan sama sekali atas fakta bahwa FPI telah melakukan kekerasan yang memalukan di Monas. Kekerasan ini tidak hanya diklaim oleh polisi (berbeda dari kasus Jemaah Islamiyah), tapi oleh tokoh-tokohnya sendiri lewat wawancara televisi yang demikian terbuka dan gamblang.

Sebagai muslim, saya mengutuk kekerasan itu, yang mempersulit kaum Muslim untuk memperbaiki citra Islam sebagai agama yang rahmatan lil
alamin.

salam,
fgaban



Pada 9 Juli 2008 09:37, RM Danardono HADINOTO <rm_danardono@yahoo.de> menulis:

--- In nasional-list@yahoogroups.com, IrwanK <irwank2k6@...> wrote:
>
> Saya kira penggunaan kata berjamaah di sini (ditempel dengan kata
> korupsi) harus dikoreksi dan sebaiknya digantikan dengan kata lain,
> misalnya: bersama-sama atau bergerombol. Karena kata berjamaah
> sendiri adalah istilah dari Islam dengan makna positif.. penggunaan
> dalam konteks korupsi berkonotasi lain yang buruk..
disengaja/tidak..
>
> Selebihnya saya setuju" saja soal daftar/anti politisi busuk.. agar
rakyat/
> publik dapat memilih yang benar" membela kepentingan publik luas. :-
)
>
> Mudah"an media massa dan kita semua dapat segera menghentikan
> penempelan kata berjamaah dengan kata korupsi atau kejahatan
> lainnya..
>
> CMIIW..
>
> Wassalam,
>
> Irwan.K
> Jakarta, Indonesia
> http://irwank.blogspot.com
>

**** Mungkin, pada dasarnya, kata "jamaah" berkonotasi positif. Juga
umat Kristen menggunakan kata "jemaat" sebagai terjemahan
istilah "kongregasi". Kumpulan manusia seiman. Kumpulan manusia yang menjalankan ibadat. Misalnya Jemaat Advent. Jemaah Ahmadyah. Jemaah Ismailyah, dsb. Atau simply kumpulan orang dengan tujuan tertentu (yang terkait agama): jemaah haji.

Namun, akhir akhir ini, timbul pemakaian kata "jamaah" dalam konteks yang agak seram, "Jemaah Islamyah" misalnya dalam konteks tersangka teroris ditangkapi oleh Densus 88.

Namun, anda benar, bahwa sesungguhnya, suatu istilah yang bermakna baik, jangan dikotori ya dibebani dengan ulah, yang menggiring pendengar ke konnoptasi yang buruk.

DI/TII alias Darul Islam, gerombolan bersenjata yang mengacau
sepanjang tahun 50an, memberi konnotasi seram pada kata "Darul Islam" yang seharusnya bermakna positif.

Rezim Hitler juga memberikan konnotasi buruk pada istilah "nationalisme" yang di Eropa pasca PD II dirasakan sebagai "rasa egoisme kebangsaaan, yang merasa lebih unggul dari bangsa lain". Padahal, makna asli nasionalisme adalah simply "kesadaran berbangsa".

Salam linguistik

Danardono

Tidak ada komentar: